Ahh, entah bagaimana memulainya, semua berjalan begitu saja. Baik ibu, adik maupun tetangga yang mulai berisik akhir-akhir ini, sebenarnya... aku tidak begitu ingat. Ya, lebih tepatnya aku tidak ingin mengingatnya. Bukankah menyedihkan harus memaksa diri untuk melupakan hal semacam itu. Tetapi aku baru sadar bahwa dibalik kata "Melupakan" akan ada luka yang sulit untuk disembuhkan. Mungkin benar kata pepatah, "Menerima dengan hati yang ikhlas lebih baik daripada melupakan." dan hal semacam itu benar adanya, bahwa aku harus tau cara menerima ini semua.
Tidak apa-apa, aku akan tetap menceritakannya karena kamu pun belum pernah mendengar kisah ini. Tapi, sepertinya ini akan menjadi cerita yang panjang di antara kita. Tapi apakah kamu akan mendengarkan, karena sejak dulu tidak ada yang mau mendengar dan percaya dengan apa yang aku ceritakan, kecuali satu sosok yaitu Ayah.
Duh, maaf-maaf jika ini tidak nyambung, aku memang suka melenceng dan berjalan tidak sesuai arah, katanya karena aku berbeda. Berbeda dengan Adikku yang sering mendapatkan pujian dari setiap manusia yang ada dihadapannya. Aku yang awalnya tidak ingin tahu banyak hal, tiba-tiba ingin selalu mencari tahu perbedaan itu. Bukankah begitulah kita, sebagai manusia, ingin lebih dari sekedar tahu.
Tiap kali perasaanku bicara begitu, aku hanya tertawa kecil, ternyata aku sama loh dengan kalian tetapi kenapa Ibu seperti malu telah melahirkanku, beda dengan Ayah. Yang mendukung dan mendengarkan setiap celotehanku. Tapi orang sebaik Ayah selalu pergi dengan cepat, ketika aku dalam kondisi sadar, aku kembali menangis sebab kepergian Ayah.
Sejujurnya aku sudah tidak ada pegangan lagi untuk tetap hidup, ini sangat melelahkan. Untuk terus mendengarkan kebisingan yang tak kunjung mereda, telinga ini sangat panas, isi kepalaku sudah penuh tapi tidak ada yang bisa membantuku, kecuali Ayah.
Tidak ada yang memelukku di saat tubuh ini mulai gemetaran, tidak ada yang menenangkan di saat aku menangis, Tidak ada!! Ibu hanya sibuk mencari bungkusan obat yang selalu aku sembunyikan, karena jika bungkusan itu ketemu, Ibu akan memaksaku untuk meminumnya. Adik... dia selalu mengurung dirinya di dalam kamar ketika kondisiku sedang tidak baik-baik saja. Memang hubunganku dengan Adik tidak begitu baik, kami jarang berkomunikasi selayaknya keluarga, kurasa ia takut dengan kehadiranku.
Aku tidak tahan dengan bau menyengat dari bungkusan itu, aku pun takut setelah Ibu memaksaku meminumnya, tatapan Ibu seperti orang kesurupan, menatapku dengan tajam, seolah membiarkan aku mati setelah meminum pil-pil itu. Aku juga tidak mau selamanya berada di posisi ini, karena bukankah itu tidak adil? Bukankah Ibu dan Adik adalah keluarga ku, kita terhubung dalam ikatan darah. Aku tidak mau merasakan sakit ini sendiri. Memang terdengar jahat, tapi Ibu dan Adik juga harus menanggungnya bukan?
Aku hanya ingin hidupku lebih baik dari ini. Untuk lebih dekat dengan Ibu dan Adik, bisa menjadi anak yang berbakti serta menjadi kakak yang dipercaya. Apakah kita bisa menjadi keluarga utuh walaupun tanpa Ayah?
Entahlah, berharap itu sangat menyakitkan. Lagipula kata Ayah, "Badai itu akan berlalu, seberapa besar terpaan-nya, jika kita mampu bertahan pasti akan mudah di lalui.", setidaknya aku ingin percaya dengan kalimat terakhir Ayah. Karena ketika semua usai, perasaan-perasaan itu kini membuatku mengerti bahwa memilih untuk menerima, menunggu atau bahkan mengikhlaskan adalah memahami arti hidup.
Senang rasanya bisa menceritakan semua perasaan ini. Harusnya aku bisa untuk berbicara kepada Ibu dan Adik bahwa aku akan baik-baik saja, aku akan pulih dan bisa memeluk kalian. Hanya ini yang ingin aku lakukan, sebelum aku pergi menyusul Ayah.
Komentar
Posting Komentar