Dalam rangka merayakan 16 HAKTP yang akan di mulai dari tanggal 25 November sampai 10 Desember, gue mau nulis tentang beberapa hal yang selama ini menjadi titik balik gue sebagai perempuan yang pernah mendapatkan diskriminasi dan juga stereotipe yang cukup buruk di mata masyarakat hanya karena keberadaan gue.
Khusus untuk tulisan kali ini, gue melakukan riset kecil-kecilan dari kehidupan gue pribadi dan juga beberapa dari teman-teman online yang selama ini gue perhatiin sering kali menjadikan perempuan lain sebagai objektifikasi dalam kekerasan.
Dulu waktu mendengar tentang kekerasan, gue langsung terbesit dengan satu kata yaitu "pukulan". Ketika seseorang mendapatkan perlakuan yang buruk seperti dipukul, ditendang, ditampar dan ditonjok. Itu semua adalah bentuk kekerasan fisik. Gue belum menyadari ternyata masih banyak bentuk kekerasan lainnya, seperti kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan penelantaran. Di tulisan kali ini gue akan memberikan contoh dari kekerasan psikis yang selama ini gak pernah kita perhatikan, tetapi malah diwajarkan.
Tentang Perempuan Idaman Lain
Isu tentang perselingkuhan sudah sangat lekat banget di kehidupan kita apalagi khususnya yang sudah memiliki pasangan. Tetapi yang sering kali mendapatkan komentar dan juga perlakuan buruk adalah si perempuan yang katanya "menggoda" hingga terjadilah perselingkuhan.
Dulu kata pelakor menjadi populer dikalangan masyarakat ketika kasus perselingkuhan terkuak ke media, istilah ini sebenarnya sudah cukup lama terdengar. Hanya saja menurut gue kata pelakor terdengar tidak netral. "perebut" terkesan menyudutkan pihak yang lain.
(Monmaaf nih teman-teman medsos dan ibu-ibu grup chat WhatsApp, selingkuh itu dua belah pihak, mau sama mau, gak ada selingkuh itu dipaksa kecuali diguna-guna)
Dengan alasan kalo "laki-laki dirayu wajar aja lah pasti mau" dengan mengatakan ini, kita udah membenarkan bahwa laki-laki tidak bersalah, tapi buat perempuan selingkuhannya? Itu baru bersalah dan harus dihakimi. Lah..lah..lah gimana sih ini konsepnya, ujuk-ujuk masuk tanpa permisi.
Tentang Perempuan Perawan Tua
"Kapan nyusul, ntar keburu tua loh. Mau tah jadi perawan tua?"
"Makanya jangan kebanyakan milih, terlalu banyak kriteria sih!"
"Ngapain sih ngurusin karir, mending nikah biar ada yang menafkahi"
Statement kek begini sering banget gue dengar, sadar gak sih kalo semua itu underestimate derajat perempuan. Kesannya perempuan itu hidupnya bergantung sama orang lain, pencapaian terbaik perempuan adalah kalo udah jadi istri orang. Yaa kalo ketemu dengan orang yang tepat, it's ok mau nikah besar-besaran kek, ngundang stasiun televisi kek, sekalian sama penjabat negara, sok silahkan. Tapi bukan berarti perempuan yang belum atau telat menikah itu gak berhasil kan?
Gue pernah ngobrol dengan orang-orang yang usianya sudah terbilang cukup untuk menikah tetapi mereka memilih untuk stay enjoy menjalani kehidupannya, bahkan mereka tidak ambil pusing dengan hate komentar tentang status singlenya.
Jadi cukupkah lah bercanda dengan pertanyaan "kapan nyusul" dan nyuruh cepet-cepet nikah biar hidup enak.
Tentang Perempuan "Harus" Menjadi Ibu
Belum kelar dengan urusan menikah, perempuan kini dihadapi oleh pertanyaan yang cukup besar lagi dampaknya. Katanya hidup perempuan belum lengkap kalo belum menjadi seorang "Ibu". Maka akan ada pertanyaan,
"kapan mau punya anak?"
"mau punya berapa anak?"
"jangan tunda-tunda punya momongan, biar rezeki-nya lancar, kan anak pembawa rezeki."
Mungkin masyarakat banyak yang gak tau bahwa ada perempuan yang tidak bisa menjadi seorang ibu. Ada beberapa faktor seperti masalah kesehatan. Misal dia dan pasangannya memiliki penyakit menurun atau sedang sakit hingga tidak memungkinkan si perempuan bisa mengandung dan membahayakan nyawanya. Gak mungkin dong, kita memaksakan untuk tetap memiliki seorang anak.
Dan juga bukan hanya kesehatan fisik tetapi kesehatan psikis seorang perempuan dapat mempengaruhi keinginan memiliki seorang anak. Gue pernah mendengar dari beberapa teman gue yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, sebab faktor trauma yang ia miliki seperti anak korban kekerasan dalam rumah tangga. Akan sulit menghilangkan rasa trauma yang dialami sehingga ia memutuskan untuk menunda atau tidak memiliki anak. Tetapi kondisi ini tidak mudah diterima oleh masyarakat, mereka akan memperparah luka batin dengan mengatakan bahwa semua itu bisa sembuh sendirinya, harus melakukan ini, harus melakukan itu. Kalo gak dituruti kita akan dianggap ngeyel dan melawan yang sudah mencicipi asin garam dilautan lebih dulu.
Dengan membuat "kontruksi sosial" yang mengharuskan perempuan menjadi seorang ibu, menurut gue ini akan merusak self worth mereka. Parahnya lagi dengan stigma kalo laki-laki akan memiliki alasan untuk bisa semena-mena terhadap pasangannya, jika perempuan tidak memenuhi kewajibannya.
Akhir Cerita
Maka di hari Jumat yang berkah ini, bertepatan dengan tanggal 25 November 2022 yang diperingati sebagai Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan marilah kita sejenak merefleksi sudahkah kita menghargai dan menghormati sesama perempuan. Kita seharusnya saling menguatkan dan mendukung. Bukan menjadi pasukan yang menghakimi ketika seorang perempuan mendapatkan diskriminasi. Semua perempuan dan laki-laki setara kedudukannya, derajat kita sama. Jadi lakukan hal yang baik dan jadilah orang yang memiliki perilaku yang baik.
Terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat tulisan gue kali ini dan sampai jumpa...
Komentar
Posting Komentar